Leuit, Lumbung Padi khas Baduy |
Perjalanan ini sebenernya udah lumayan lama, tepatnya akhir Agustus 2014, kesimpen di draft juga lama, haha. Maklum yang punya blog agak sibuk di pertengahan hingga akhir tahun 2014.
Perjalanan ini termasuk perjalanan hore karena ikutan open trip Wisata Budaya ke Suku Baduy di pedalaman Banten. Jadi we cuma sediain uang buat bayar ke panitia sama janjian mau ngumpul di mana, haha.
Stasiun Rangkasbitung |
Kami berangkat bareng-bareng dari Stasiun Duri, Jakarta dengan Kereta Api tujuan Merak hingga ke Stasiun Rangkasbitung (harga tiketnya Rp 5.000). Untuk menuju ke Baduy harus menempuh sekitar 40 km dari Rangkas menggunakan Elf.
Baduy terbagi menjadi 2, yaitu Baduy Luar dan Baduy Dalam. Baduy berasal dari kata Badawi atau Bedoin yang diberikan oleh seorang peneliti Belanda. Namun, karena aksen warga setempat, kata tersebut pada akhirnya bergeser menjadi kata Baduy. Suku Baduy masih memegang adat istiadat seperti menggukanakan pakaian hitam putih, ikat kepala dan tanpa alas kaki serta masih sedikit terisolasi dari dunia luar dan budaya modern (seperti belum menggunakan listrik).
Pintu Masuk Baduy |
Pintu masuknya di daerah Ciboleger. Dari sini, kita hanya bisa meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki sekitar 3 jam, mengikuti budaya Suku Baduy yang kemana-mana juga jalan kaki. Perjalanan diwarnai dengan naik turun bukit, jembatan bambu dan Leuit (lumbung padi khas Suku Baduy).
Perbedaan dari Baduy Luar dan Baduy dalam adalah Baduy Luar sudah mulai terpengaruh dengan budaya luar wilayah Baduy, sedangkan Baduy Dalam masih sangat kuat unsur kesukuannya. Namun tipe rumahnya masih sama menggunakan kayu, bambu dan atap jerami. Di wilayah Baduy Luar masih diperbolehan untuk mengambil foto, sedangkan di Baduy Dalam sudah tidak bisa. Yang kalian lihat di postingan ini semuanya adalah wilayah Baduy Luar.
Salah satu produk dari Suku Baduy ini adalah kain tenun. Selama di sana, kami banyak menemukan wanita-wanita Baduy sendang sibuk menenun di teras rumah mereka.
Tenun Baduy |
Sampai di Baduy Dalam, kami langsung disiapkan untuk menginap di salah satu rumah warga. Di Baduy Dalam ini tidak ada listrik, sehingga alat penerangan menggunakan obor dan sudah mulai ada senter beberapa tahun terakhir ini.
Biasanya para pengunjung membawa bahan makanan sendiri untuk dikonsumsi di sana agar tidak merepotkan warga di sana dan makanan tambahan untuk diberikan kepada warga sebagai tanda terima kasih telah memberikan tumpangan.
Mandi pun masih di sungai dan tanpa menggunakan bahan kimia seperti sabun dan shampoo, tujuannya agar tidak mencemari lingkungan.
Trus apalagi yang ada di Baduy Dalam?
Masih banyak, kalian bisa ke sana sendiri buat cari tau ya, haha.
Setelah menginap semalam, rombongan langsung bersiap pulang dengan jalan kaki (lagi) dengan jalur yang berbeda dengan jalur kedatangan. Salah satu yang terkenal di jalur pulang ini adalah landmark Jembatan Akar Baduy.
Jembatan Akar |
Setelah sampai di pos penjemputan elf, rombongan gantian mandi terlebih dahulu sebelum meneruskan perjalanan ke Ciboleger dan Rangkasbitung. Salah satu hal unik yang saya dan teman-teman alami adalah walaupun di rumah yang sudah cukup modern tapi kamar mandinya ga pakai pintu, kebayang ga gimana cara kami mandi? hahaha.
Dari Rangkasbitung kami naik kereta tujuan Angke dengan tarif tiket Rp 2.000, istimewa ya? Padahal itu jauhnya alaihim.
Terima kasih Baduy atas sambutannya, terima kasih juga pada panitia open tripnya. See you next trip! :D
@ariffsetiawan