Quantcast
Channel: A Train of Thought
Viewing all articles
Browse latest Browse all 302

Ketika Media Sosial Belum Menggambarkan Kondisi Riil

$
0
0

Sore ini saya melihat satu artikel menarik tentang kondisi masyarakat di Indonesia ini serta hubungannya dengan masyarakat Indonesia di media sosial. Sebut saja artikel tentang Aceng Fikri di Midjournal ini.

Beberapa waktu lalu, berdekatan dengan waktu Pemilu saya juga pernah ngtweet yang topiknya hampir sama, bahwa di Indonesia ini walaupun negaranya sangat aktif dan adaptif terhadap teknologi, terutama penggunaan media sosial, tetapi hal itu tidaklah bisa langsung digunakan sebagai parameter gambaran kondisi riilnya.

Kita lihat saja, jumlah pengguna media sosial berapa juta si? Jumlah penduduk Indonesia berapa? 1/10 nya pun belum ada.

Salah satu contoh nyatanya ya Bapak Aceng Fikri ini. Walaupun di media sosial terlihat kurang diterima oleh sebagian besar masyarakat karena kasus nikah sirinya, toh nyatanya di Garut sana Bapak ini masih bisa mendapatkan dukungan untuk menjadi wakil rakyat, bahkan lebih dari 1 juta suara yang mendukungnya. Ajaib? Enggak.

Ya karena kondisi sebenarnya begitu. Kesenjangan antara masyarakat menengah dan bawah masih terlalu besar.
Perut yang lapar akan mengabulkan permintaan siapapun yang punya nasi. Saat kita hanya bisa bicara lewat media sosial, Aceng bekerja turun ke bawah, membantu dan memberikan kebutuhan pemilih tadi. Saat kelas menengah hanya bisa berjuang dengan retweet dan tanda pagar, Aceng membangun jalan, memberikan bantuan modal dan mencari simpati hingga akar rumput.
Dan mungkin pada akhirnya bagi mereka, ga ada alasan untuk ga milih si Bapak ini.

Contoh lainnya adalah dukungan terhadap salah satu partai yang terlihat riuh dan masif di media sosial, hampir setiap hari lewat di linimasa kita, bahkan sampai mengganti karakter abjad huruf dengan no urut partainya. Tapi apa? Hasil Pemilunya berkata lain bukan?

Di Indonesia ini menurut hemat saya masih lebih efektif iklan di TV atau kampanye langsung ke daerah-daerah dengan sekedar membagikan sembako, uang atau kaos kepada warga. Karena setiap suara warganya tidak diwakilkan. Dan pandangan sebagian besar warganya belum ada di level pemikiran masyarakat menengah di kota besar. Suara tidak bisa diperoleh dengan hanya share berita, retweet dan tanda pagar.

Bagaimana menurut kalian?

@ariffsetiawan

Gambar : Tribune


Viewing all articles
Browse latest Browse all 302